Aku bangun berdiri dan menyeka darah yang mengalir di hidungku, bajuku basah dengan darah. Semua orang tercengang. Aku sendiri juga merasa aneh dan tidak sedikitpun merasa sakit. Emosi masih menjalar ke seluruh tubuhku, tiada ketakutan yang kurasakan, melainkan kepuasan ketika berhasil menonjoknya tepat di muka. Oh Tuhan, maafkan anakmu yang durhaka ini. Adrian mengambil keputusan untuk membawaku ke Dokter. Kejadian 17 tahun yang lalu ini, menorehkan luka yang dalam untukku. Lucunya, aku tidak berhasil mengingat Dokter mana yang memeriksaku, apakah di RS Sumber Waras ? Aku menjalani foto x-ray untuk mengetahui apakah tulang hidungku patah, untunglah puji Tuhan hidungku tidak patah. Kepada semua orang, kami mengatakan bahwa aku terjatuh pada saat lari atau naik sepeda. Hanya kepada teman-teman baikku aku mengatakan yang sebenarnya. Ketika masuk sekolah, mukaku masih terlihat sedikit lebam. Aku hanya tersenyum-senyum jika ditanya teman-teman.

Keesokan harinya setelah kejadian itu, aku merasakan penyesalan yang amat mendalam, hatiku sakit, aku menyesal, dan pastinya aku menangis (aku sudah tidak terlalu ingat). Aku meminta maaf, dia pun juga. Aku sangat sedih melihat mukanya yang juga lebam, diapun pasti sangat sedih melihat putri kesayangannya (menurut aku) terluka, baik fisik maupun physic. Sejak itu, dia tidak lagi memukul anak-anaknya. Semua kejadian pasti ada hikmahnya, blessing in disguise kalau kata orang.

Aku mengerti, apa yang membuatku sedemikian nekad. Semua menumpuk bagikan bom waktu yang akan meledak setiap saat. Mungkin hanya aku, anak perempuan ‘extra-ordinary’ yang berbuat demikian. Kata Ibu, tidak boleh seorang perempuan memukul laki-laki apapun juga yang terjadi. Kata Don, aku exceptional. Aku memang gila, nekad, tidak berpikir panjang, impulsive dan emosional. Mata gelap kata orang, sehingga bisa terjadi hal seperti itu. Berulang kali ia memukulnya, bukan hanya menampar, melainkan ‘menggebok’ dengan punggung tangannya. Kakak-kakakku tidak ada yang segila aku, yang kedua dan ketiga hanya tunduk dan patuh.

Aku yakin, bahwa aku adalah anak perempuan kedua yang disayangi Bapak setelah kakakku yang kedua. Bahkan setelah kejadian itu, ia semakin menyayangiku. Aku tidak tahu mengapa aku punya keyakinan seperti itu. Sedangkan Ibu, walaupun ia tidak pernah mengakuinya, sangat menyayangi satu2nya anak lelakinya.

Bapak membelikan mobil untuk kupakai kuliah selepas lulus SMA. Dia selalu menjanjikan namun aku tidak pernah mengharapkannya, sampai sebuah Suzuki Jimny tahunnya sekitar 1988 terparkir di rumahku. Itu adalah bukti nyata cinta kasihnya.
“Karena kasihnya engkau ada di muka bumi ini”, kata yang diucapkan kakak pertamaku selalu terngiang dalam hidupku.

Kematiannya yang mendadak membuat aku kaget dan menyesal. Aku tersedu-sedu dan sempat setengah histeris pada menit pertama ketika tiba di kamar rumah sakit tempat ia terbaring. Kemudian aku berdoa Salam Maria dan menjadi lebih tenang. Mataku mengejap basah sepanjang menunggu jenasahnya dikunjungi para tamu. Tawa dan canda tetap menyelingi kami semua. Kesedihan yang mendalam bercampur dengan kelegaan Ibu dan kami semua. Tuhan baik karena telah memanggil Bapak dalam keadaan sedamai mungkin. Penderitaannya berakhir, Bapak sudah pasrah akan penyakitnya. Setahun adalah waktu yang cukup baginya untuk menderita sakit, ditambah lagi dengan cuci darah selama beberapa bulan.

Setiap pagi ia ikut misa harian. Romo Agustinus yang memimpin misa requiem dalam khotbahnya menyatakan bahwa di suatu pagi, ia melihat seorang bapak di samping patung Bunda Maria, berdoa sambil memandang Bunda dan memegang kakinya. (Aku sedang menangis ketika menulis ini). Ketika dihampiri, Bapak tersebut mengatakan bahwa ia sudah pasrah dengan penyakitnya dan ingin segera dipanggil. Ternyata keinginannya terkabul, he died in full of grace. Begitu cepatnya ia dipanggil, sampai Ibu mengira ia sedang tidur.

Comments

Popular posts from this blog

Derawan island hopping 16-19 Okt 2014

Feel lucky

Coast to Mountain CTC to MERBABU 3.145 Mdpl via Suwanting Jawa Tengah